Oleh: Zia Ul Haq
Perbedaan yang sangat kontras antara praktik pendidikan manusiawi -sebagaimana dilakoni KBQT- dengan praktik mainstream sekolahan adalah pemosisian anak. Dalam praktik pendidikan manusiawi, anak-anak berposisi sebagai subyek, pelaku, murid (bahasa Arab yang berarti; orang yang berkehendak). Sehingga merekalah yang mencari, menggali, dan bertumbuh.
Sementara itu, dalam praktik mainstream sekolahan konvensional, gurulah bintang utamanya. Sehingga anak-anak diperlakukan sebagai obyek. Mereka dicetak, dibentuk, dan diajar. Sehingga lahirlah motto-motto obyektivikasi siswa, misal; mencetak generasi bla-bla-bla. Karena menjadi mainstream, maka praktik semacam inilah yang dianggap benar oleh khalayak.
Paradigma cetak mencetak bermula dari pandangan bahwa siswa adalah bahan baku yang perlu dibentuk menjadi produk. Juga menganggap bahwa siswa adalah wadah yang betul-betul kosong sehingga musti diisi pelajaran sepenuh mungkin. Tak peduli ia muntah-muntah, atau bahkan asupannya tak membekas secuilpun.
Jangan salah paham. Aku tak menolak konsep pengajaran guru-murid. Sama sekali tidak. Tapi harus tetap ada porsinya, yang tak boleh lebih besar dari keaktifan siswa menggali pengetahuannya sendiri. Guru menjadi pengajar adalah saat ia mengajarkan pengalaman yang pernah dilalui, atau pengetahuan yang betul-betul ia pahami. Selebihnya, guru mustinya lebih berperan sebagai pendamping belajar anak. Mendampingi tumbuhnya benih potensi dalam diri mereka yang khas.
Antitesis dari paradigma mencetak adalah paradigma menumbuhkan. Jika paradigma mencetak berkonsekuensi pada penyeragaman, maka paradigma menumbuhkan mengakibatkan keberagaman. Setiap anak memiliki potensi khasnya masing-masing. Dengan pendampingan belajar yang tepat, potensi itu akan tumbuh, mekar, dan berbuah ranum.
Awalnya kukira teori pendidikan aktif semacam ini hanya ada di lingkungan filsafat pendidikan Barat modern. Namun ternyata teori ini sudah sangat akrab bagi pejalan spiritual (sufi) di lingkungan pendidikan Islam. Dalam dunia tasawuf, seorang murid disebut sebagai salik (orang yang berjalan menuju tujuan). Sedangkan sang guru pendamping disebut sebagai mursyid (penunjuk jalan).
Artinya, seorang salik musti aktif berjalan sendiri menempuh perjalanan spiritualnya, sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh sang mursyid. Persis seperti ungkapan Maulana Jalaluddin Rumi; "Kau bisa menempuh jalan ini bersama orang lain untuk menemanimu. Namun kau harus menempuhnya dengan upayamu sendiri. Orang yang menemanimu takkan bisa menempuhkan perjalanan itu untukmu."
Imam Ghazali, pemuka ahli tasawuf dan kiblat pendidikan Islam, menyatakan dalam kitabnya Risalah Laduniyyah,
"Ilmu-ilmu sudah tertampung dalam diri manusia, sebagaimana benih yang sudah tertanam di dalam bumi. Proses belajar mengajar adalah upaya menumbuhkan potensi itu. Si pengajar sebagai petani, si pelajar sebagai bumi."
Praktik pendidikan atas konsep Imam Ghazali ini tentu mensyaratkan beberapa hal. Pertama, tetap harus ada pelajar dan pengajar sebagai pendaming belajar. Sebagaimana para nabi diutus sebagai pendamping bagi umat manusia menuju kesejatian Tuhan. Kedua, si pelaku musti memahami apa potensi yang dititipkan Tuhan baginya, tentu hal ini musti melalui proses yang panjang. Ketiga, proses belajar harus dilakukan secara aktif oleh semua pihak. Tidak ada cetak mencetak, yang ada ialah menumbuhkembangkan.
Hal senada juga disampaikan oleh Syaikh Mahi Cisse, seorang mursyid tarekat Tijaniyyah dari Senegal. Ia mengatakan,
"Bukanlah tugas seorang guru untuk mengisi muridnya dengan asupan-asupan spiritual, sebab di dalam si murid sudah terkandung semuanya. Tugas guru adalah membuatnya muncul, teraktualisasikan. Ketika kau menggali sumur, kau tidak mengeduk tanahnya kemudian menuanginya dengan air. Melainkan; kau menggalinya hingga dari dalam lubang itu memancar mata air."
Apakah teori penumbuhan ini hanya diakui para sufi? Ternyata tidak. Pendidikan Islam secara umum juga mengakuinya. Buktinya, Prof. Dr. Khalid al-Hazimi, guru besar pendidikan Islam di Universitas Islam Madinah, merangkum pengertian 'pendidikan Islam' di dalam bukunya, Ushul at-Tarbiyyah al-Islamiyyah, sebagai;
"Upaya penumbuhan manusia secara bertahap pada semua sisi potensinya, untuk meraih kebahagiaan dunia dan akherat, sesuai dengan metodologi Islam."
Pendapat yang lebih pedas disampaikan oleh Syaikh Hamza Yusuf, pendiri Zaytuna College California. Dalam wawancaranya di The Message Magazine, ia menegaskan,
"Saya kira, sistem sekolah modern adalah suatu pengalaman buruk. Saya percaya Anda bisa mempelajari lebih banyak hal di luar sekolah daripada di dalamnya. Saat ini kita menghadapi sistem pendidikan universal yang bisa Anda lihat di Arab, China dan dimanapun. Sistem ini digunakan untuk kepentingan politis di masing-masing negeri.
Di dalam pendidikan tradisional Islam (i.e. pesantren), setiap peserta didik dipantik daya pikirnya. Mereka dibekali berbagai ‘alat’ semacam tata bahasa, logika, dan diskusi, sehingga mau berpikir dan mengoptimalkan akalnya sesuai kemampuan masing-masing. Namun di sekolah umum, Anda tidak diberi ‘alat’. Anda hanya ditumpahi informasi dan data-data. Anda hanya diposisikan sebagai hard-drive yang melulu dijejali dengan soft-ware. Sehingga apa yang digeluti persekolahan modern sekarang adalah tentang apa yang laku di pasar.
Orang-orang dibentuk untuk patuh terhadap logika sistem yang sudah ada. Akhirnya, mereka kesana-kemari melakukan pekerjaan yang hampa, tak pernah betul-betul paham dan peduli terhadap masyarakat di mana ia musti berperan."
Terakhir, agaknya perlu kukutipkan maklumat penting dari salah satu tokoh sufi abad ini, almarhum Syaikh Nazim Adil Haqqani Cyprus, mursyid tarekat Naqsyabandi-Haqqani. Beliau menyatakan dalam salah satu edisi majalah Saltanat tahun 2012,
"Pada abad ke-21 ini, orang-orang keranjingan untuk belajar namun tak paham apa-apa tentang hal yang dipelajari. Seseorang tak bisa mempelajari segala hal! Meskipun iya, tetap saja dia takkan memahami semuanya. Jika ia tak bisa memahami apa yang dia pelajari, lalu apa gunanya?
Kesalahan terbesar di abad 21 ini adalah pemaksaan terhadap orang-orang untuk belajar di sekolah. Seseorang tak bisa memahami segala hal yang ia pelajari, dengan begitu banyak pelajaran yang dipaksakan, itu hanya buang-buang waktu dan tenaga.
Sistem pendidikan saat ini benar-benar dungu dan tidak manusiawi. Ketika masyarakat berada di bawah bayang-bayang kedunguan dan ketidakpedulian, maka mereka menanggung banyak penderitaan. Mereka tak bisa belajar dengan sempurna, sekaligus membuang-buang kesempatan hidup yang sangat berharga.
Contohnya; tak semua orang bisa memahami fisika, tergantung kemampuan akal masing-masing. Lalu mengapa kita memaksakan semua siswa sekolah untuk mempelajarinya? Itu hanya akan melumpuhkan bakat khas yang dimiliki setiap anak. Jika Anda membawa seorang bocah dusun ke kota, memaksakannya untuk mempelajari sesuatu, bakat alaminya pun lumpuh. Dalam hal ini, setiap orang terlanjur buta terhadap bakat masing-masing, dan keseluruhan sistem sosial pun menjadi busuk."
Meskipun menjadi praktisi pendidikan alternatif, aku takkan mengatakan bahwa praktik pendidikan ini -sebagaimana dilakoni KBQT- adalah praktik terbaik dan paling manusiawi. Sebab klaim terbaik bisa menghambat perkembangan dan perubahan. Selain itu, menjadi yang terbaik bukanlah tujuan sejati pendidikan alternatif. Tujuan sejatinya ialah kebermanfaatan personal dan sosial, yang semua itu tak lain merupakan bentuk pengabdian kepada Tuhan.
___
Kalibening, Senin 7 Oktober 2019
Penulis adalah pendamping belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah dan redaktur web Santrijagad. Sumber tulisan; Pendidikan yang Menumbuhkan ala Sufi
0 Comments