Judul Buku : Desaku, Sekolahku
Penulis : Ahmad M. Nizar Alfian Hasan
Penerbit : Pustaka Q-Tha
Tahun : Agustus 2007
XXV+189 hlm, 14 x 20 cm
Ketika sekolah semakin mahal dan membosankan, apa yang mungkin kita lakukan untuk menghadapi situasi seperti ini? Biaya sekolah terus mengikuti trend harga barang-barang di pasaran yang terus membumbung naik. Sementara, kualitas lulusannya masih jauh dari yang diharapkan. Murid-murid sendiri banyak yang menyatakan kebosanan, tidak menyenangkan dan tidak menarik atas proses pembelajaran di Sekolah. Ke Sekolah dengan rasa tertekan dan keterpaksaan. Belum lagi ketegangan dengan guru dan tugas-tugas sekolah serta pekerjaan rumah (PR) yang menyebalkan. Waktu untuk mengekspresikan diri dan explorasi ketertarikan pada hal-hal di luar sekolah habis ditelan tuntutan aktivitas di sekolah.
Formalitas sekolahan telah memandulkan kreativitas dan mengasingkan para murid dari lingkungan hidupnya sendiri. Dan, bagaimana nasib anak-anak dari keluarga miskin yang tersebar luas di Indonesia Raya ini?
Dan pada akhir ritual sekolah yang ditunggu-tunggu pun tiba, ijasah adalah symbol kebanggaan kelulusan yang konon bisa memberikan jaminan hidup kedepan(?) Perlu disadari para mahasiswa bahwa ketika ijasah itu diterimakan, ketika itu pula status anda berubah, bukan lagi menjadi mahasiswa sang intelektual melainkan “pengangguran” bila anda belum produktif.
Sebagai sarjana, sudahkah anda memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menerapkannya dalam aktivitas kerja produktif di tengah-tengah masyarakat membangun ini; pertanyaannya, apa yang bisa anda kerjakan/ hasilkan? Apa yang bisa dibanggakan dengan ijasah di tangan tapi tidak berdaya..?
Kenyataan cenderung mengatakan “untuk menjadi pandai itu memang mahal.” Dan “orang-orang miskin dilarang sekolah.”
Namun demikian, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin terjadi di muka Bumi ini selama hal itu manusiawi. Bahwa sekolah (baca: belajar) itu bisa murah dan berkualitas adalah bukan mimpi, dan hal ini dibuktikan oleh komunitas petani—yang menamakan dirinya komunitas Qaryah Thayyibah-- di Desa Kalibening, Kecamatan Tingkir, 3 kilometer dari Kota Salatiga, Propinsi Jawa Tengah.
Berawal dari solidaritas yang kuat dari seorang Bahrudin yang melihat para tetangganya tidak mungkin menyekolahkan anak-anaknya ke SLTP, karena biaya masuk sekolah dan SPP bulanannya terasa memberatkan. Ketika itu, ia akan memasukkan anaknya, Hilmy, ke SLTP di Kota Salatiga. Ia menemui kenyataan bahwa biayanya cukup mahal, dan tidak sampai hati menyaksikan anaknya pergi ke sekolah sementara anak-anak tetangganya tak terperhatikan pendidikannya, maka ia mengajak warga sekitarnya untuk mendirikan sekolah SLTP terbuka, yang kemudian berkembang menjadi SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah.
SLTP itu menyebut diri “alternatif” karena mereka memang bisa dikatakan terlepas dari mainstreaming proses pembelajaran sebagaimana yang terjadi di sekolah-sekolah pada umumnya. Sekolah ini mempunyai prinsip dasar: 1) Pendidikan dilandasi semangat pembebasan dan perubahan yang lebih baik; 2) Keberpihakan kepada keluarga miskin; 3) proses belajar yang menyenangkan (egaliter); dan partisipasi semua pihak.
Dan sebagaimana yang dicita-citakan oleh penggagasnya, bahwa SLTP alternatif ini bercita-cita menjadi sekolah yang murah dan berkualitas. Pak Bahrudin menekankan bahwa lembaga pendidikan alternatif seyogyanya menyatu dengan lingkungan sosial dan alam sehingga secara langsung berkonribusi pada perwujudan masyarakat yang tangguh yang mampu mengelola dan mengontrol segala sumber daya yang tersedia beserta seluruh potensinya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kelestarian lingkungan serta kesetaraan laki-laki dan perempuan, atau masyarakat ilmu yang berkeadaban (hlm.37).
“Desaku, Sekolahku” adalah pilihan judul buku yang sangat tepat untuk menyebut konsepsi belajar yang terjadi di Desa Kalibening. Bahwa belajar tidak hanya di ruang kelas, tetapi bisa juga di kebun, di lapangan, di bengkel, di sawah, di pinggir kali, di dapur, di masjid, di rumah-rumah warga, dan seterusnya. Penulis, A.M.Nizar Alfian Hasan menemukan pesona tersendiri dari anak-anak SLTP yang mempunyai konsep sekolah ideal tidak terbatas pada bangunan sekolah, atau konsep ruang bangunan. Sekolah bagi anak-anak itu adalah rumah, ruang perpustakaan, dapur, halaman rumah sampai lingkungan alam desa dimana mereka hidup.
Proses belajar ditentukan sendiri oleh para murid dan kondisi yang nyaman serta menyenangkan dengan sendirinya tetap terjaga. Ternyata suasana informal justru sangat mendukung proses belajar yang kreatif, efektif dan menyatu dengan masyarakat.
Lompatan besar pun terjadi. Anak-anak SLTP alternatif ini dengan kesadaran baru tidak mengejar penilaian dan ijasah, melainkan pengetahuan dan kemampuan baru. Bukan kompetisi penilaian yang dibangun, melainkan kompetisi memahami pengetahuan dan membagikannya kepada kawan-kawan lainnya. Hanya 4 orang muridnya yang ikut Ujian Akhir Negara (UAN) 2006 yang lalu; itu pun tujuannya adalah penelitian. Persoalan pun dipecahkan bersama-sama.
Saya harus menyampaikan rasa salut saya kepada Bapak Roy Budhianto di Kota Salatiga yang mendukung pembelajaran anak-anak itu dengan menyediakan akses internet 24 jam gratis sebagai jendela wawasan dunia. Atas dukungan inilah anak-anak SLTP QT melesat cepat menjadi komunitas pengguna internet terbaik di dunia sejajar dengan tujuh komunitas dunia lainnya, seperti Kampung Issy Les Moulineauk di Perancis dan Kecamatan Mitaka di Tokyo—menurut peneliti Asia Pasific Telecommunity di Bangkok, Dr.Naswil Idris.
“Action Day” adalah agenda belajar anak-anak SLTP untuk beraktivitas di lingkungan masyarakat secara langsung, misalnya meneliti dan menulis tentang sengketa mata air “Belik “ Luweng. Kegiatan ini menjadi ajang implementasi pengetahuan dan sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya.
Tidak ada anggapan bahwa ada anak yang bodoh, yang ada adalah talenta dan ketertarikan yang berbeda-beda. Mereka tidak hanya belajar pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga belajar tentang kehidupan (humanisme). Tidak ada paksaan bahwa semua siswa harus menguasai pelajaran; kalau ternyata guru saja tidak harus menguasai bahan pelajaran. Hal ini mengingatkan saya pada situasi belajar di Tomoe, Jepang, pasca perang dunia kedua, sebagaimana digambarkan oleh Tetsuko Kuroyanagi dalam bukunya yang terkenal “Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela”. Dan seperti cita-cita Alm. Romo YB.Mangunwijaya yang sering saya dengarkan sebelum kepergiannya.
Proses belajar ini telah menghasilkan anak-anak berkualitas. Sebagian dari mereka sudah menulis beberapa novel dan buku ilmiah yang dipublikasikan oleh penerbit di Yogyakarta. Dan juga sering mendapatkan undangan untuk menjadi pembicara atau sekadar berbagi pengalaman. Beberapa karya mereka meliputi pembuatan film documenter dan film untuk belajar (pengetahuan), menerbitkan majalah E-lalang, berteater untuk masyarakat, dan mahir dalam multimedia. Mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat kosmopolitan tetapi tetap mengakar di dunianya.Mereka telah berpikir global dan bertindak lokal (think globally, act locally).
Dalam buku ini tereksplorasi bagaimana anak-anak kelas-3 SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah mempunyai tugas akhir—sebagai pengganti UAN--untuk menandai kelulusannya dengan mengadakan dan menyelesaikan “disertasi” masing-masing. “Disertasi” itu antara lain Pengadaan Ruang Belajar, Studio Musik Bawah Tanah dan Kolam Belut di Rumah As’ad; Laboratorium Tanaman dan Pembuatan Briket Sampah di Rumah Amri; Ruang Belajar dan Budidaya Tanaman Obat di Rumah Ulfa; Ruang Belajar di Rumah Amik; “Menghidupkan” Kembali Kolam Renang Milik Keluarga Alm.Bapak Tafdil; Radio Sekolah dan Gudang/Bengkel Karya di Rumah Bapak Bahrudin; dan lain-lain.
Proses penulisan Tugas Akhir dalam studi Arsitektur di FT-UNS Surakarta ini perlu dijadikan contoh nyata, bahwa pembelajaran yang langsung melibatkan suatu masyarakat akan memberikan transformasi positif bagi kedua belah pihak. Penulis mengakui bahwa proses interaksi dengan komunitas, terutama anak-anak SLTP alternatif Qaryah Thayyibah mempuyai dampak pembelajaran yang memberikan pencerahan. Semuanya merasakan perubahan yang lebih baik.
Dan pada akhirnya, perlu diambil hikmahnya: bahwa belajar itu tidak mengenal batas ruang dan waktu, bahwa sekolah itu bisa murah dan berkualitas, dan tentunya dengan adanya semangat dan upaya yang kuat dari semua pihak. Inilah yang disebut Komunitas Belajar.
*Djuneidi Saripurnawan, RDC Plan Aceh, alumnus Studi Antropologi UGM Yogyakarta.
Sumber: Kabar Indonesia
0 Comments