Adalah iya, leres, benar, betul, bahwa dua kata “efektif” dan “efisien” itu sudah menjadi slogan semangat dalam segala hal dan dalam keseharian. Kita bareng-bareng beracara ke suatu tempat, jauh lebih efisien ketika berlima naik satu taksi dan tidak usah ribet dan bingung mikirin parkir bahkan bisa sambil diskusi dan seterusnya (efektif). Inilah khusnudzon saya ke Presiden Prabowo, dan saya yakin demikianlah adanya. Tidak usah FGD-FGD-an, seminar-seminaran, orang masalahnya sudah jelas, ya segera eksekusi saja, di samping efektif juga efisien karena memotong anggaran FGD dan seminar.
Pernah suatu ketika atas pasokan info dari Menaker MHD, Jokowi sempat mencak-mencak, masak anggaran penanggulangan stunting 10 milyar, yang sampai langsung ke sasaran hanya dua milyar? Yang lain habis untuk rapat-rapat, perjalanan dinas dan seterusnya. Terlebih di dunia pendidikan. Sering saya sampaikan, tidak kurang oleh seorang sahabat senior Prof. John Hattie, one of the world's leading experts in education, yang juga Guru besar di University of Melbourne Australia, yuniornya guru saya Prof. Arief Budiman, tersampaikan bagaimana menghasilkan murid yang cerdas itu ternyata (ekstrimnya) justru tidak butuh biaya, karena berurusan dengan pendekatan dan metodologi.
Untuk itu komponen pembiayaan pendidikan memang wajib dan wajib dikoreksi (dihitung ulang). Ingat, "what works, and what cost" a la John Hattie ini yang alih-alih menempatkan "improving school buildings" sebagai support system pendidikan itu, justeru sebagai distraction yang mengganggu efektifitas pembelajaran dan ngentek-entekke biaya! Reducing class size up to < 20 yang paling banyak menghabiskan biaya, efektifitasnya juga hanya ber-skor 3 dari 10.
Sementara mengembalikan ke anak (Feedback to pupils), memerdekakan anak untuk berkreasi dan berinovasi, efektifitasnya tertinggi dengan konsekuensi pembiayaan justru terendah. Hakekat dari empat hal (baik Feedback to pupils, Meta-cognitive, Peer tutoring, maupun Collaborative group learning) adalah komponen yang meminimalisir peran guru/dosen (cost efficiency-nya pasti sangat signifikan) dan bagus kalau dialihkan untuk pemenuhan gizi dan nutrisi anak.
Selanjutnya saya coba untuk introspeksi saja ya. Di BAN PDM, tempat saya, Pak AM, Pak Satria Dharma, Prof Anita Lie, Prof. Moel, Pak Ketua Totok, Pak Budi dll. bergiat, setahun yang lalu ketika kami awal bertugas (Januari 2024), karena di BAN PDM itu sebagaimana di lembaga-lembaga komisioner yang lain yang pengambilan keputusannya harus kolektif kolegial, saya menjadi langganan kalah voting. Hahaha. Meskipun begitu, Pak Totok selalu menghibur saya, dengan pura-pura klaim bahwa; “Pikiran Gus Bah itu terlalu lebih maju, hahaha.” Sepertinya benar, hahaha. meskipun masih "proses" (belum final), saya sudah menyadari, saya ikhlas kalau usulan saya ketika itu sudah diposisikan sebagai "dissenting opinion". Dan apapun, karena ada banyak variabel yang memaksa saya untuk memaklumi. Klaim saya dimulai dari instrumen akreditasi BAN PDM saja sudah akan sangat signifikan mengubah semuanya.
Lihat saja, saya bilang semua indikator dalam instrumen akreditasi (ada 60 indikator) adalah prilaku atau situasi yang harus terjadi (positive indicators) pada satuan pendidikan dalam konteks "learning process". Saya memastikan, ini akan menguras energi asesor dan tentu, konsekuensinya berbiaya mahal, khususnya ketika menggali data, tapi tetap bias karena terbatasi pada "belenggu" 60 positive indicator itu. Dari sisi Asesi atau Satuan, juga tetap saja akan terjebak dan stres pada "penyiapan" akreditasi yang dipastikan "bimbelable" juga. Karena "learning process", usulan saya, dari 60 indikator dari 14 butir itu, diturunkan saja ke negative indicators (menggunakan cara berfikir presumption of innocence), dan bisa saja per butir cukup satu negative indicator.
Semua asesi bahkan dimerdekakan untuk berinovasi, dan 60 indikator hasil ijtihad teman-teman itu dijadikan referensi saja pada Satuan Pendidikan (SP) sebagai bahan edukasi, dan sekali lagi, SP tidak hanya diperbolehkan tapi bahkan didorong untuk berinovasi. Every institution accused of any guilty is considered innocent until proven guilty. Akreditasi justeru musti fokus pada "learning outcomes performance" dengan "positive indicators" sebagaimana butir kekhususan SMK-Kesetaraan dan bobotnya juga musti more than fifty percent. Saya yakin semua SP akan nyaman dan bahagia dan tetap fokus pada capaian peningkatan kompetensi peserta didik yang memang adalah yang utama, bahkan segala-galanya. SP juga tidak perlu susah-susah dan stres "menyiapkan" akreditasi, juga tidak akan ada ruang sedikitpun bagi pengusaha jasa "bimbel" akreditasi. Dan tetap penting, dengan plus persyaratan tertentu untuk memperoleh nilai Unggul (A), misalnya bagaimana SP memastikan lingkungan fisiknya berkontribusi pada, misalnya, penanggulangan global warming-climate change serta bencana hidrometeorologi.
Dari sisi biaya akan dapat ditekan semurah mungkin bahkan kalau dimaksimalkan ke auto input online oleh asesi, misalnya asesi unggah karya anak, atau unggah foto digester dari seluruh toiletnya, sehingga berkontribusi besar pada reduksi emisi carbon, maka sistem akan otomatis menilai. Di samping bisa nyaris zero atau nol biaya, semua menjadi bahagia dan semua asesi akan bersemangat mendorong anak untuk berkarya, asesi sendiri akan berupaya juga menghadiran kontribusinya pada kelestarian planet ini.
Namun oh namun, ide saya hanya seperti angin sayup-sayup yang boleh berlalu begitu saja. Karena maklum juga, ide saya ini berhadapan langsung dengan Kepmen, Permen, PP, bahkan UU Sisdiknas, sementara perjuangan mengubah seabreg kebijakan itu akan butuh energi yang luuuuar biasa! Nah, berkat gebrakan efisiensi dari presiden Prabowo ini sekarang baru muncul peluang besar untuk merombak kebijakan penilaian akreditasi. Alhamdulillah sudah muncul statemen dari Pak Ketua Totok, bahwa;
“Perlu dipertimbangkan lagi ide Gus Bah yang total automation itu, agar hanya dengan anggaran 33-an M dari semestinya 260-an M akreditasi tetap berjalan bahkan lebih efektif, lebih menggerakkan semuanya, khususnya SP mendorong murid-muridnya berkarya, dan seterusnya. Sungguh nggak lucu lah kalau Badan Akreditasi menghentikan kegiatan penilaian akreditasi, sementara masih dianggarkan 33-an miliar! Inilah blessing in disguise yang patut kita syukuri!”
Saya yakin situasi serupa juga terjadi di institusi-institusi yang lain. Belajar saja dengan Sustainable Education Project (SEP)-nya 'Dtech Engineering yang nol puthul dapat bantuan dari negara, malah melalui pajak yang disetor, justru bisa bantu negara lebih dari 30 M! Bahkan capaian di risetnya yang sudah submit di Ditjen Kekayaan Intelektual (DJKI) jauh-jauh melampaui BRIN yang dapat kucuran dana dari negara sampai ber-T-T rupiah. Betapa tidak, catatan saya dari sekitar 3600-an reseachers yang nota bene profesor doktor dan master ternyata hasil riset yang submit di DJKI hanya ada 539 Kekayaan Intelektual (KI). Kalau direrata hanya ada 0,15. itupun berhenti di KI tidak lanjut di produk apalagi dipasarkan. Bahkan konon kebanyakan untuk kepentingan kenaikan pangkat si penelitinya, piye jaal!?
Sementara karya SEP-'Dtech dari hanya 97 mahasiswa (bukan profesor doktor) sudah mencapai 370 KI, atau rerata sudah mencapai 3,81 (hampir 4) dan seratus persen diproduksi dan dipasarkan sehingga kontribusi ke negara melalui pajak sudah melampaui 30 miliar rupiah itu tadi. Kalau gegara "efisiensi" ini rapor BRIN di akhir 2025 nanti semakin "kalah" dan "parah" lagi dari SEP-'Dtech Engineering, yaa, fantadzirus saa'ah (tunggulah saatnya)!
0 Comments